Berbicara tentang politik saat ini, pasti akan terdengar sangat mengerikan. Betapa tidak, hampir setiap hari di televisi disuguhkan aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan ini seakan hobi melakukan operasi tangkap tangan. Parahnya lagi, kasus korupsi yang terjadi tidak hanya ditingkat pusat saja, melainkan sudah bergeser ke tingkat daerah. Mulai dari menteri, anggota DPR, gubernur, wali kota sampai kepala desa pun sekarang sudah banyak yang menghuni sel tahanan KPK. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari situs KPK http://acch.kpk.go.id/statistik , per tanggal 30 juni 2016 KPK telah melakukan penyelidikan 51 perkara, penyidikan 46 perkara, penuntutan 30 perkara, inkracht 34 perkara, dan eksekusi 42 perkara.
Total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2016 adalah penyelidikan 803 perkara, penyidikan 514 perkara, penuntutan 419 perkara, inkracht 354 perkara, dan eksekusi 375 perkara. Kasus terbaru bahkan sampai menyeret ketua DPD aktif Irman Gusman. Padahal kita tahu bahwa dibandingkan dengan lembaga legislatif lain seperti DPR dan DPRD, anggota DPD sangat minim sekali melakukan tindak pidana korupsi. Harapan menjadikan DPD sebagai teladan lembaga yang bersih dari korupsi pun kini sirna, masyarakat awam tentu akan menganggap DPD tak ubahnya seperti lembaga-lembaga lain yang belepotan dengan noda korupsi.
Data lain dari Indonesian Corruption Watch jumlah kasus korupsi selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 Triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 Miliar. Dalam kajian tren korupsi ICW sebelumnya, total kasus yang berhasil dipantau selama tahun 2010 hingga 2014 adalah sebanyak 2.492 kasus dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 30 triliun dan nilai suap sebesar Rp 549 miliar.
Modus korupsi yang jamak terjadi selama tahun 2015 adalah penyalahgunaan anggaran sebanyak 134 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 803,3 Miliar. Modus korupsi lain yang sering digunakan adalah penggelapan sebanyak 107 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 412,4 Miliar. Lalu diikuti dengan mark up (104 kasus), penyalahgunaan wewenang (102 kasus) dan laporan fiktif (29 kasus). Tentu ini bukan angka yang kecil, dan jika dibiarkan seperti ini maka perekonomian kita khususnya disektor anggaran akan mengalami kebocoran yang semakin deras.
Budaya politik yang terjadi saat ini, sedikit besarnya merupakan akumulasi dari masa lampau, bila hal ini dibiarkan berlarut-larut bukan tidak mungkin negara ini hanya akan tinggal nama saja. Namun kita tidak boleh pesimis dan pasrah begitu saja, masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengubah kebiasaan "lama" para politisi. Salah satunya dengan meningkatkan integritas para politisi. Karena apa, integritas merupakan sebuah modal berharga yang harus dimiliki oleh semua orang bukan saja politisi.
Integritas berasal dari bahasa latin yaitu integer yang artinya adalah utuh. Jadi seseorang yang berintegritas adalah pribadi yang utuh. Integritas juga bermakna bahwa apa yang kita bicarakan dan kita kerjakan sesuai dengan apa yang kita yakini kebenarannya. Dengan kata lain seorang politisi harus mampu berpikir, berpendapat dan bertindak sesuai dengan kebenarannya. Dengan berpikir, berucap dan bertindak sesuai dengan kebenaran, maka celah untuk melakukan korupsi akan semakin sempit. Mengutip dari pernyataan Anies baswedan bahwa “korupsi itu sebenarnya hanya gejala, penyakitnya adalah defisit integritas”. Untuk itu guna memberantas korupsi di jajaran elite politik, hal yang perlu dibenahi adalah integritas elit politik itu sendiri.
Untuk itu menurut hemat saya, negara ini membutuhkan tempat / sekolah untuk memberikan pemahaman anti korupsi serta nilai-nilai yang luhur baik kepada politisi, kader partai politik, dan para generasi muda agar tercipta generasi politik baru yang berintegritas, demokratis dan mempunyai sikap anti korupsi. Meskipun seharusnya tugas mencetak para politisi handal adalah kewajiban parpol, namun jika negara hanya menunggu tanpa bergerak maka akan sulit rasanya menanti perubahan besar di dunia perpolitikan itu terjadi. Jadi pemerintah harus bertindak dan mengambil suatu kebijakan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait yaitu KPK, Partai Politik, dan para akademisi untuk berkolaborasi menciptakan sebuah wadah pembelajaran tentang anti korupsi yaitu Sekolah Politik Anti Korupsi.
Sekolah Politik Anti Korupsi ini diharapkan dapat menjadi tempat menimba ilmu bagi para politisi maupun calon politisi (kader partai politik) untuk mempersiapkan mental anti korupsinya agar ketika duduk di kursi parlemen nanti tidak mudah goyah oleh iming-iming uang semata. Di dalam sekolah anti korupsi nantinya, akan diajarkan nilai-nilai kejujuran, integritas, etika, serta moralitas para politisi.
Dengan materi pembelajaran yang aplikatif dan diajar oleh narasumber yang berkompeten dibidangnya, tentu sekolah ini dapat dijadikan harapan lahirnya politisi bermental anti korupsi. Tentu harapannya setelah lulus dari sekolah ini, mereka menjadi para politisi yang matang dan dapat dipercaya untuk mengawal kemajuan bangsa dan negara.